Abu Nawas Menjadi Tabib
Kisah yang satu ini mirip dengan apa yang
pernah dilakukan oleh ibnu shina(avicenna), seorang filosof terkenal. Adapun
kisahnya adalah sebagai berikut.
Secara tak terduga, putera mahkota daulat bani
Abbasiyah menderita sakit. Sudah banyak tabib(sekarang dokter) yang didatangkan
untuk memeriksa dan mengobatinya.
Akhirnya, khalifah Harun Al-Rasyid mengadakan
sayembara yang boleh diikuti oleh semua lapisan masyarakat, termasuk dari
negeri tetangga.
Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan
itu, dalam waktu beberapa hari saja mampu menyerap ratusan peserta. Nanun tidak
ada satupun dari mereka yang berhasil mengobati penyakit yang diderita oleh
putera mahkota.
Abu Nawas,sebagai sahabat dekat khalifah Harun
Al-Rasyid menawarkan jasa baik untuk mengobati / menyembuhkan putera mahkota.
Khalifah Harun Al-Rasyid menerima usul itu, namun dengan harap-harap cemas. Abu
Nawas pun juga menyadari kalau dirinya bukan tabib, karena itu ia tak membawa
peralatan apa-apa.
Para tabib yang ada di istana tercengang
melihat Abu Nawas datang tanpa membawa peralatan yang biasa dibawa oleh seorang
tabib. Mereka pun berfikir dan meragukan kemampuan Abu Nawas dalam mengobati.
“mungkin orang seperti Abu Nawas yang bukan
tabib mampu mengobati, sedangkan para tabib terkenal yang membawa peralatan
serba lengkap saja tidak mampu mengobatimbahkan menfeteksi penyakitnya pun
tidak terlacak?” tanya salah satu tabib yang sejak tadi memperhatikan tingkah
laku abu nawas.
Abu nawas yang merasa menjadi pusat perhatian,
tidak begitu memperdulikannya. Khalifah harun al-rasyid mempersilahkan abu
nawas masuk bilik putera mahkota yang sedang berbaring sakit. Ia menghampiri
pangeran dan duduk disampingnya.
Cukup lama abu nawas dan putera mahkota saling
berpandangan dan memperhatikan. Mereka seperti orang tidak kenal saja. Tidak
ada kata-kata yang yang keluar dari insan yang sling berpansangan lantaran
keheranan. Kemudian abu nawas keluar dari bilik itu menuju dekat tempat duduk
khalifah.
“saya membutuhkan seorang tua yang di masa
mudanya sering berkelana ke berbagai pelosok negeri,” kata abu nawas dengan
muka serius.
Orang yang diinginkan abu nawas pun akhirnya
didatangkan. Orang itu sudah malang melintang sebagai seorang pengelana. Abu
nawas sesaat memandangi lelaki itu seprti seorang pilisi yang mengintrogasi
penjahat. Kemudian abu nawas mengajak orang itu masuk ke bilik sang putera
mahkota.
“tolong sebutkan satu persatu nama-nama desa
si daerah selatan!” pinta abu nawas.
Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama
desa di bagian selatan,abu nawas menempelkan telinganya ke dada sang putera
mahkota. Lalu abu nawas memerintahkan lelaki itu agar menyebutkan nama-nama
desa di bagian utara, barat, dan timur.
Setelah semua bagian negeri disebutkan, abu
nawas memohon izin untuk mengunjungi sebuah desa di sebelah utara. Khlaifah
harun al-rasyid merasa heran dengan tingksah laku abu nawas yang tidak biasa
diperagakan oleh seorang tabib, aneh dan mengherankan.
“engkau juundang kesini bukan untuk
bertamasya, tapi untuk menyembuhkan penyakit putraku!” kata khalifah.
“hamba tidak bermaksud berlibur paduka,” jawab
abau nawas.
“tetapi aku tidak mengerti maksudmu.”
“maafkan hamba paduka, kurang bijaksana
rasanya bila hamba menjelakan sekarang.”
Khalifah akhirnya mengiinkan abu nawas/ abu
nawas pergi selama dua hari san sekembalinya dari desa itu ia langsung menemui
putera mahkota dan memsikkan sesuatu lalu menempelkan teliganya ke dada sang
putera mahkota. Setelah itu abu nawas mengangguk-angguk.
“oh ...dugaanku tidak salah!”
Abu nawas keliar dari bilik putera mahkota
dengan wajah yang berseri-seri penuh keyakinan menemui khalifah.
“apakah yang mulia masih menginginkan putera
mahkota hidup?”
“apa maksudmu abu nawas! Jangan gila kamu!”
“sabar paduka. Jangan marah! Sebab putera mahkota
terserang penyakit T.B.C.”
“penyakit apa itu?”
“tekanan batin cinta, paduka!”
“kamu jangan main-main, abu nawas!”
“maaf paduka! Putera mahkota sedang jatuh
cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini.”
“bagaimana kamu bisa tahu?”
“ketika salah satu nama desa di bagian utara
disebutkan, tiba-tiba degub jantungnya bertambah cepat.sedangkan sangputera
mahkota tidak berani mengutarakannya.”
“lalu apa yang harus aku lakukan?”
“mengawinkannya sang pangeran dengan gadis
itu!”
“kalau tidak dikawinkan?”
“cinta itu buta. Bila tidak berusaha mengobati
kebutaanya, maka ia bisa mati.”
Khalifah harun al-rasyid terlihat berpikir
keras. Wajahnya menunduk ke lantai istana. Dalam batinnya terjadi pertarungan
hebat, antara percaya dan tidak terhadap perkataan abu nawas. Khalifah tahu
bahwa abu nawas bukanlah seorang tabib, namun ucapannya masuk akal.
“ah,barangkali saran abu nawas ada benarnya,”
kata khalifah dengan suara lirih.
Abu nawas yang mengamati wajah khalifah yang
sedang serius, tidak berani angkat bicara. Suasana menjadi sunyi. Para tabib
istana asyik berpikir sendiri-sendiri, entah apa yang mereka pikirkan. Saat
wajah khalifah bangkit, tiba-tiba abu nawas angkat bicara, memecah keheningan
istana.
“bagaimana paduka? Bila tidak, putera mahkota
bisa mati.”
Rupa-rupanya saran abu nawas tidak bisa
ditawar lagi. Begitu disetujui,sang pangeran berangsur-angsur pulih . sebagai
tanda terima kasih, abu nawas diberi
hadiah cincin permata yang sangat indah.
Sumber : Abu Nawas Menjadi Tabib
0 komentar:
Posting Komentar